Example 728x250
Hukum  

Isu Intoleransi di Kota Pangkalpinang : Oknum yang Menyebarkan Patut Dijadikan Tersangka Utama

Rakyatbersuara.com, Pangkalpinang –Baru-baru ini, Forum Kerukunan Pangkalpinang melaporkan oknum relawan kotak kosong berinisial SW ke SPKT Polresta Pangkalpinang karena dianggap memicu perpecahan umat beragama melalui komentar di grup WhatsApp terbatas relawan kotak kosong, pada Rabu (30/10/2024). Isu ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat.

M. Natsir atau yang dikenal sebagai Guru Natsir dan juga Wakil Ketua Rumah Aspirasi Kotak Kosong, mengaku bertanggung jawab atas tindakan relawan tersebut.

“Saya siap menerima segala risiko, termasuk laporan yang ditujukan kepada SW. Seharusnya saya yang dilaporkan,” ungkapnya,” Kamis, (31/10/2024).

Guru Natsir berharap kasus ini terungkap dengan jelas termasuk identifikasi provokator yang menyebarkan percakapan dari grup WhatsApp kotak kosong.

“Kami meminta polisi untuk bersikap profesional dan menelusuri siapa yang pertama kali mengirimkan bukti screenshot dan oknum yang menyebarluaskannya, agar dikenakan UU ITE. Tindakan ini diduga sengaja dilakukan buntuk menimbulkan kegaduhan di masyarakat,” sebutnya.

Guru Natsir menegaskan bahwa percakapan dalam ruang terbatas tidak seharusnya dijadikan isu SARA di ruang publik.

“Orang yang menyebarluaskannya adalah provokator yang ingin memecah belah masyarakat,” katanya.

Lebih lanjut, Dia juga menyoroti serangan terhadap Penjabat (Pj) Wali Kota Pangkalpinang, Budi Utama yang dituduh menggerakkan relawan kotak kosong.

“Kami akan melaporkan akun yang menyerang beliau, karena relawan kotak kosong merasa difitnah dan dirugikan,” tambah Natsir.

Guru Natsir menilai calon tunggal seharusnya lebih bijak dalam menanggapi komentar masyarakat, alih-alih memperkeruh suasana dengan postingan di media sosial.

“Sikap ini tidak mencerminkan seorang pemimpin yang bijak. Pemimpin seharusnya merangkul, bukan memukul,” tegasnya.

Dia kembali mengingatkan saat peristiwa mobil Molen dilempar batu. Natsir menyebut banyak yang menyarankan untuk melaporkannya, namun Molen enggan.

“Kini, dalam suasana pilkada, justru pihaknya melaporkan isu ini ke polisi. Belum lagi persoalan baleho Monica, istri Molen yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif provinsi Babel dari PDIP nomor urut 7,” ungkapnya.

“Baleho tersebut dirusak dengan cara dicoret pada bagian wajahnya. Saat itu, Monica menyatakan tidak mempermasalahkan aksi tersebut. Mengapa kali ini mereka bersikap reaktif dengan melaporkan ini ke Kepolisian? Ini tanda tanya besar, apakah ini bentuk kepanikan karena dukungan terhadap kotak kosong terus membesar,” sindir Natsir.

Menurut Natsir, situasi ini mencerminkan ketidakstabilan di tengah persaingan pilkada. Ia mengingatkan semua pihak untuk menjaga ketenangan dan fokus pada substansi kampanye, bukan fitnah dan provokasi.

“Di tengah dinamika politik ini, kita harus mengedepankan dialog konstruktif. Menghadapi isu intoleransi, semua elemen masyarakat perlu bersatu untuk menciptakan suasana damai dan saling menghormati,” ujarnya.

Natsir menekankan pentingnya peran media dan publik dalam menyebarkan informasi akurat.

“Media harus bertanggung jawab dalam memberitakan fakta, bukan sekadar rumor yang dapat memicu konflik. Kita semua bertanggung jawab untuk menciptakan suasana kondusif,” tegasnya.

Dia berharap langkah-langkah hukum yang diambil dapat membuat masyarakat Kota Pangkalpinang lebih kritis terhadap informasi yang beredar.

“Mari kita wujudkan Pemilu yang bersih, berintegritas, serta bebas dari intoleransi dan provokasi,” ajak Guru Natsir.

Sementara itu, Mantan anggota DPRD Provinsi Babel, Sarpin yang terlibat aktif di relawan kotak kosong juga memberikan komentar.

“Di rumah aspirasi kotak kosong berhimpun berbagai suku dan agama yang telah terjalin hubungan harmonis. Oknum yang menyebarkan screenshot di grup WhatsApp kotak kosong memiliki niat jahat untuk memecah belah persatuan dan kerukunan umat beragama dan patut dijadikan tersangka utama,” ujarnya.

Sarpin menegaskan bahwa perbuatan menyebarkan kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dilarang dalam Pasal 28 Ayat (2) UU 1/2024.

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warga kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, distabilitas mental, atau distabilitas fisik,” jelasnya.

“Pelanggar dapat dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 Miliar,” imbuhnya.(Ahmad)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250 Example 728x250