Sulawesi Tengah- rakyatbersuara.com- Masalah Pajak dan legalitas material PT. Biomas Internasional (BI) di wilayah Desa Topogaro Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali terkait perpindahan material tambang antar perusahaan serta izin lingkungan yang belum memadai telah menimbulkan pertanyaan serius.
Yang mana PT. Biomas Internasional melalui Kepala Teknik Tambang (KTT), Risman menyampaikan Klarifikasi pada media ini, Selasa 8 maret 2025 bahwa kapasitas produksi berdasarkan RKAB PT. Biomas Internasional adalah 498.000 ton/ tahun dan kemudian PT. Biomas Internasional juga telah mengajukan permohonan peningkatan status izin lingkungan dari UKL- UPL menjadi Amdal di Dinas Lingkungan hidup provinsi dan Saat ini sedang berproses secara administrasi maupun teknis.
Sambung Risman bahwa untuk material yang digunakan oleh PT. bahosua taman industri investment group (BTIIG) saat ini memang benar berasal dari wilayah IUP OP PT. Biomas Internasional, hanya saja lahan tersebut adalah milik PT. BTIIG berdasarkan alas hak yang dimiliki oleh PT. BTIIG.
Sehingga kata Risman dalam pelaksanaan pekerjaan pengambilan material tersebut tidak terdapat transaksi jual/beli material oleh kedua belah pihak.
“Semoga apa yang disanggahkan kepada Kami dapat menjadi tolak ukur untuk kemajuan PT. Biomas Internasional kedepannya,”jelas Risman.
Namun dalam klarifikasi Risman justru menimbulkan pertanyaan mendasar dari sejumlah warga bahwa bagaimana mekanisme legal perpindahan material tambang antar perusahaan?, Kemudian, Apakah seluruh produksi dan peredaran material telah dilaporkan secara patuh?.
Pihaknya mengukapkan tentang hukum pertambangan yang menjelaskan bahwa berdasarkan UU PDRD, transfer material tambang tetap menjadi objek pajak tanpa memandang status kepemilikan lahan.
Kemudian PT. Biomas Internasional mengantongi RKAB 2024 dengan Kuota produksi 498.000 ton/tahun. Namun yang menjadi masalah izin lingkungan perusahaan masih berbasis UKL-UPL, bukan Amdal yang seharusnya diperlukan untuk kapasitas produksi sebesar itu. Sementara berdasarkan peraturan menteri LHK No. P. 12/2023 bahwa batas maksimal produksi untuk izin UKL-UPL umumnya di bawah 500.000 ton/tahun. Jika produksi melebihi ambang batas wajib dilengkapi dengan Amdal sesuai pasal 23 UU No. 32/2009.
“Operasi produksi tanpa dokumen lingkungan yang memadai merupakan pelanggaran serius,” tegas warga.
Menurutnya jika terbukti melanggar, perusahaan menghadapi resiko pembekuan izin operasi sesuai pasal 109 UU 32/2009 dan pidana penjara 3-10 tahun, denda Rp 3- 10 miliar sesuai Pasal 112. Pencabutan IUP untuk kelebihan produksi pasal 162 UU Minerba.(*)