Opini
Pangkalpinang, rakyatbersuara.com- Siapapun yang terjun di dunia politik harus bersiap-siap menerima dua kemungkinan, yaitu mengasyikkan dan juga sebaliknya, ialah kekecewaan. Kita melihat orang-orang yang aktif dalam politik, mereka bersemangat luar biasa untuk mendapatkan pengaruh, popularitas dan juga kemenangan. Pada saat itu, seolah-olah mereka akan selamanya berada di partai politik atau wilayah kekuasaan itu. Oleh karena itu, komitmen, loyalitas, dan perjuangannya dicurahkan sepenuhnya untuk partai politik.
Tatkala bekerja untuk partai, oleh karena politik menjadi hobi, ambisi, dianggap sebagai alat perjuangan atau lainnya, maka seolah-olah hal yang lain dianggap menjadi tidak penting. Beralasan demi menyelesaikan tugas partai, maka urusan anak, keluarga, dan lain-lain ditinggalkan. Rapat hingga larut malam dijalani. Urusan partai dianggap menjadi sesuatu yang tidak boleh ditingggalkan. Mereka merasakan politik sebagai sesuatu yang mengasyikkan, nikmat dan atau sangat menyenangkan.
Kehidupan yang mengasyikkan itu, menjadikan orang yang sedang aktif dalam kegiatan politik, tidak selalu bersikap kalkulatif artinya berharap mendapatkan uang. Bahkan sebaliknya, demi partainya, seseorang bersedia mengorbankan apa saja yang dimiliki. Didorong oleh nafsu memenangkan partai politiknya, maka apapun boleh dikorbankan, tidak terkecuali adalah mengorbankan harkat dan martabat dirinya sendiri. Membanting meja di ruang sidang dan atau bahkan memukul lawan politiknya dilakukan, padahal tindakan itu adalah mengorbankan martabatnya.
Dalam pikiran orang yang sudah bernafsu pada dunia politik maka yang dipentingkan adalah popularitas, kebesaran, dan kemenangan partainya. Partainya harus semakin populer, menang, dan berkuasa.
Kepuasan orang-orang politik adalah berada di wilayah itu. Itulah sebabnya, bagi orang-orang tertentu, politik adalah sangat mengasyikkan.
Menjatuhkan dan menyingkirkan orang, tidak terkecuali kawan atau teman sendiri, adalah dianggap sebagai hal biasa. Oleh karena itu dalam politik disebutkan bahwa tidak ada teman yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Untuk memenuhi kepentingan politik, maka menjadi hal biasa, seorang teman dekat dan bahkan keluarganya sendiri dijatuhkan atau disingkirkan. Dalam berpolitik berlaku semboyan bahwa kepentingan tidak boleh dikorbankan.
Politik adalah sama dengan permainan. Itulah sebabnya, politik menjadi sangat mengasyikkan. Siapapun akan menyenangi permainan. Dalam permainan itu ada yang kalah dan yang menang. Untuk memenangkan permainan, orang biasa menempuh jalan pintas, berlaku subyektif, dan bahkan juga bersikap irrasional. Selain itu, untuk memenangkan permainan politik, orang bersikap selektif. Siapa saja yang dianggap akan mengganggu pengaruh, kekuasaan, posisi, dan sejenisnya, maka tidak akan diterima begitu saja, dan bahkan sebaliknya, seseorang harus disingkirkan.
Suasana seperti digambarikan itu, adalah sudah menjadi hal biasa dalam politik. Sehingga, saling gusur menggusur, menjatuhkan, menyingkirkan, pecat memecat, dan lain-lain adalah merupakan bagian dari kehidupan politik. Bahkan logika politik, di mana-mana, memang rumusnya demikian itu. Maka, dalam politik tidak ada apa yang dinamakan dengan istilah kasihan, sopan santun, keharusan menghormati senior, orang yang telah berjasa, bersikap ikhlas, sabar, dan seterusnya.
Apa yang dapat kita saksikan bersama dalam kegiatan partai politik pada akhir-akhir ini , yaitu misalnya terjadi perpecahan, saling memecat, tuduh menuduh, dan seterusnya adalah merupakan hal biasa dalam berpolitik. Dan nampaknya, perilaku seperti itu bukan didominasi oleh partai tertentu, melainkan oleh semuanya, baik mereka yang beridentitas agama atau bukan. Sekalipun partai politik itu berbasis agama misalnya, maka tetapi tidak akan sepi dari suasana perpecahan, konflik, pecat memecat, dan sejenisnya.
Tulisan ini hanya ingin menunjukkan bahwa politik itu selalu memiliki logika tersendiri, ialah logika politik. Dalam berpolitik orang berusaha untuk mendapatkan, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuasaan itu tidak mudah, harus dilakukan dengan cara bersaing, dan bahkan juga berebut. Memang ada etika, ialah etika politik. Akan tetapi, untuk meraih kemenangan dalam permainan itu, adalah sudah menjadi biasa, etika dimaksud diabaikan. Itulah sebabnya, politik menjadi mengasyikkan dan sekaligus juga mendatangkan kekecewaan. Siapapun, pada suatu saat dihormati dan pada saat lain dicampakkan begitu saja. Contoh tentang hal yang dimaksudkan itu, pada akhir-akhir ini semakin mudah kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.(Ahmad Bustani)