Example 728x250
Hukum  

Tanpa Dasar Hukum dan Sepihak, BPN Bangka Hentikan Sertifikat Tanah Pekuburan Etnis Thionghoa

Rakyatbersuara.com, Sungailiat Bangka- Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bangka Menghentikan sepihak Proses Penerbitan Sertifikat Tanah Pekuburan Entis Tionghoa di Kp. Songliang, Kel. Srimenanti, Kec. Sungailiat.

BPN Bangka menyampaikan bahwa setelah menerima surat sanggahan dari Kelurahan/Kepala Desa (Kades) setempat terkait keberadaan jalan pintas di area pekuburan maka proses pengajuan sertifikat dihentikan.

Penghentian ini menuai protes dari warga Tionghoa pemilik lahan pekuburan, yang menegaskan bahwa jalan pintas tersebut dibangun tanpa izin di atas lahan yang telah memiliki legalitas.

Kasus ini semakin memanas karena jalan pintas yang disengketakan diduga dibangun secara sepihak oleh pihak tertentu tanpa koordinasi dan meminta izin dengan pemilik sah lahan pekuburan.

Warga Tionghoa setempat menyatakan bahwa lahan pekuburan tersebut telah digunakan turun-temurun dan memiliki dasar hukum yang jelas, bahkan diatur oleh Perda.

“Kami heran, sudah 2 tahun yang lalu kami mengajukan ke BPN untuk penerbitan sertifikat dilahan pekuburan kami. secara eksplisit apa dasar hukumnya sehingga BPN justru menghentikan sertifikat lahan kami hanya karena sanggahan dari Kelurahan/Kades serta beberapa warga terkait jalan pintas yang bahkan tidak memiliki izin. Atau karena kami etnis minoritas sehingga sulit untuk menuntut kesetaraan hak dan keadilan? Ini jelas merugikan kami sebagai pemilik sah dan kemanapun kami akan terus memperjuangkan keadilan ini” ujar Min Khiong, perwakilan Perkumpulan Warga Tionghoa.

Menurut informasi yang diperoleh media dari BPN, sanggahan dari Kelurahan/Kades diajukan dengan alasan bahwa jalan pintas tersebut telah digunakan oleh warga sekitar sebagai akses terdekat, namun pada faktanya warga disekitar pekuburan masih bisa dan memiliki jalan alternatif lain tanpa harus melewati lahan pekuburan, bahkan mirisnya mayoritas warga tersebut melarang warga Tionghoa melakukan pemakaman kerabatan mereka di pekuburan dengan berbagai alasan yang terkesan rasis dan tidak berdasar.

Menurut beberapa warga Tionghoa sekitar menegaskan bahwa jalan pintas tersebut dibangun tanpa persetujuan mereka (Yayasan Perkumpulan) dengan menjadikan jalan pintas memotong ditengah tengah lahan pekuburan, hal ini dibiarkan oleh pemerintah daerah setempat dengan alasan jalan pintas itu sebagai Fasilitas Umum.

Ini menjadi suatu keanehan dan menimbulkan pertanyaan, sejak kapan pekuburan dijadikan fasilitas umum?
Sejauhmana dasar hukumnya?
Sedangkan lahan pekuburan ini masuk izin khusus “Lex Specialis Derogat” (dimana peraturan khusus mengesampingkan peraturuan umum).

BPN Bangka menyampaikan balasan melalui surat resmi kepada yayasan pekuburan Tionghoa, menyatakan bahwa penghentian sementara pengukuran lahan dilakukan karena adanya surat sanggahan dari kelurahan/kepala desa setempat dan warga sekitar, terkait adanya jalan pintas.

“Kami menghentikan sementara proses pengukuran karena adanya surat sanggahan dari kepala desa setempat dan beberapa warga terkait adanya jalan pintas di tengah lahan pekuburan yang diklaim sebagai fasilitas umum,” melalui surat resminya.

Sementara itu, BPN sebagai Lembaga Pemerintah yang secara mandataris mengatur bidang pertanahan justru dianggap cacat (incapable) dan terkesan memihak, padahal secara eksplisit surat kepemilikan yang sah sudah dikantongi yayasan dan memenuhi syarat dalam pengajuan sertifikat, namun respon BPN bertolak belakang dengan syarat legitimasi yang telah dipenuhi.

Alih-alih mencari solusi, justru BPN Bangka terkesan memihak dan mengabaikan SOP.

Seyogianya BPN Bangka dapat memastikan, apakah jalan tersebut merupakan fasilitas umum atau bukan, tidak hanya mendengar kepada salah satu pihak sehingga tidak terdistorsi oleh narasi yang beredar. Karena bagaimanapun kebenaran akan menemukan jalannya.

Berdasarkan aturan jalan pintas yang berada di tengah pekuburan dengan memiliki legalitas kepemilikan yang sah tidak dapat secara langsung disebut sebagai fasilitas umum (fasum), karena:

1. Kepemilikan Tanah Pekuburan tersebut telah memiliki legalitas kepemilikan yang sah, yang berarti bahwa tanah tersebut dimiliki oleh seseorang atau lembaga tertentu.

2. Fungsionalitas Jalan pintas tersebut berada di tengah pekuburan, yang berarti bahwa fungsionalitasnya lebih terkait dengan kegiatan pekuburan daripada sebagai fasilitas umum.

Dilain hal, BPN Bangka dinilai menunjukan keberpihakan yang sepihak bukan kepada aturan baku dan kepentingan umum, sehingga kasus ini terindikasi dugaan syarat pelanggaran administratif, HAM, diskriminasi RAS dan etnis/golongan.

Hal ini sangat disayangkan karena mencerminkan lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dan lembaga terkait dalam menangani sengketa tanah. *K/A Tim*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250 Example 728x250