Morowali, rakyatbersuara.com- Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) milik PT. Baoshuo Taman Industry Investment Group (PT. BTIIG) perusahaan yang beroperasi di wilayah Topogaro, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dengan potensi retribusi yang belum dipungut sebesar Rp19,2 miliar. Masalah ini tidak hanya berdampak pada keuangan daerah, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan hukum perusahaan terhadap regulasi yang berlaku.
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2023, PT. BTIIG memiliki 49 gedung yang belum memiliki PBG, terdiri dari 31 bangunan di area smelter dan 18 bangunan di area PLTU. Namun, pernyataan dari Riki, pihak eksternal PT. BTIIG, menyatakan bahwa pada tahun 2023, perusahaan belum mengajukan permohonan PBG karena bangunan belum ada. “Pada 2023, kami belum bisa mengajukan PBG karena bangunan belum ada,” ujar Riki pada media Kamis, 19 Desember 2024.
Pernyataan Riki, pihak eksternal PT. BTIIG, terkait status pembangunan dan pengajuan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) pada tahun 2023 memunculkan tanda tanya besar. Dalam keterangan sebelumnya, Riki mengungkapkan bahwa perusahaan belum mengajukan PBG pada 2023 karena bangunan belum ada. Namun, pernyataan tersebut bertentangan dengan data yang ia sampaikan sendiri, yang menunjukkan keberadaan 31 smelter, 18 PLTU, dan 11 office di tahun yang sama.
“Pada tahun 2023 PT. BTIIG memiliki 31 smelter, 18 PLTU, dan 11 office” jelasnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana konsistensi dalam pemberian informasi?
Dalam kasus ini, PT. BTIIG mengklaim bahwa keterlambatan pembayaran retribusi disebabkan belum diterbitkannya billing oleh platform PUPR yang mengalami pembaruan versi pada 5 Desember 2024. Namun, klaim ini dinilai kurang relevan karena pengajuan PBG baru dilakukan pada Juli 2024, jauh setelah gedung-gedung tersebut dibangun.
Keterlambatan PT. BTIIG dalam pengajuan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) tidak hanya memicu kontroversi atas potensi retribusi daerah sebesar Rp19,2 miliar yang tertahan, tetapi juga berpotensi melanggar aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja Bidang PBG, setiap bangunan gedung wajib memiliki PBG sebelum dapat digunakan atau dioperasikan.
Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa bangunan memenuhi standar teknis, keselamatan, dan fungsi sesuai peraturan yang berlaku. Berdasarkan peraturan, pelanggaran atas kewajiban PBG dapat dikenai sanksi administratif hingga penghentian sementara kegiatan. Kepala Dinas PUPR, Rustam, menegaskan bahwa PBG merupakan salah satu instrumen penting dalam menjaga keselamatan bangunan dan keberlanjutan fungsi konstruksi. “PBG itu sebenarnya instrumen untuk memastikan bahwa bangunan itu kokoh, kuat dan berfungsi dengan baik,” tegasnya pada 18 Desember 2024.
Hingga berita ini diterbitkan pada Sabtu 21 Desember 2024, terkait nominal retribusi yang harus dibayarkan, pihak eksternal PT. BTIIG belum memberikan jawaban apakah angkanya sesuai dengan data sebesar Rp19,2 miliar atau lebih tinggi mengingat sebelumnya 11 office itu tidak termasuk dalam perhitungan retribusi pada tahun 2023. Hal ini semakin memperkuat kritik bahwa perusahaan belum sepenuhnya transparan dalam menyelesaikan kewajibannya kepada daerah.
Dengan adanya indikasi pelanggaran aturan hukum, pemerintah daerah didesak untuk segera menindaklanjuti kasus ini. PT. BTIIG juga diminta untuk menunjukkan komitmennya dalam mematuhi ketentuan yang berlaku demi menjaga kepatuhan hukum dan mendukung optimalisasi pendapatan daerah, agar permasalahan serupa tidak terulang.(Wiwi)