Morowali, rakyatbersuara.com – Polemik tak hentinya timbul di tengah masyarakat sekitar kawasan industri PT. Indonesia Huabao Industrial Park( IHIP) perusahaan yang beroperasi di wilayah Topogaro, Tondo, Ambunu Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, muncul keluhan bahwa perusahaan tersebut diduga belum membayar kompensasi yang dijanjikan terkait dampak lingkungan berupa debu, asap pabrik hinga kebisingan. Warga yang tinggal di sekitar area industri merasa dirugikan akibat aktivitas perusahaan yang dinilai mengganggu aktivitas.
Sumber yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan bahwa sejak awal pendirian perusahaan, masyarakat sekitar sudah dijanjikan akan mendapatkan kompensasi berupa uang kebisingan dan debu sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Namun, hingga saat ini, pembayaran tersebut belum direalisasikan.
Dengan adanya persoalan ini dugaan pelanggaran aturan mengenai jarak pembangunan industri dari pemukiman. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan beberapa peraturan terkait lainnya, industri seperti smelter dan PLTU diwajibkan memiliki jarak minimal tertentu dari kawasan pemukiman, biasanya berkisar 1-5 kilometer, tergantung tingkat risiko pencemaran yang dihasilkan. Namun, keberadaan PT. IHIP yang cukup dekat dengan permukiman warga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kepatuhan terhadap peraturan ini.
Dampaknya sangat terasa. Debu dari aktivitas industri masuk ke rumah-rumah kami, dan kebisingan mesin terdengar hampir sepanjang hari. Kalau memang sesuai aturan, seharusnya perusahaan ini tidak boleh dibangun terlalu dekat dengan pemukiman,” jelas narasumber kepda media pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Debu dari aktivitas industri, seperti smelter atau PLTU, mengandung partikel kecil (PM10 dan PM2.5) yang dapat masuk ke saluran pernapasan dan memicu berbagai masalah kesehatan seperti, Batuk Kronis, Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), hingga Penurunan Imunitas.
Olehnya itu, narasumber menegaskan perlunyaa penanganan segera atas dampak kesehatan ini, selain hal itu ia meminta kompensasi dari perusahaan. Bentuk kompensasi yang diharapkan meliputi, Dana ganti rugi atas dampak langsung debu terhadap kesehatan dan properti, Layanan kesehatan gratis dan pengobatan bagi warga yang terdampak, terutama yang mengalami gangguan pernapasan.
“Perusahaan harusnya memperhatikan dampak yang timbul oleh aktivitasnya, betul bahwa perusahaan berkontribusi pada daerah tapi untuk kami dilingkar industri seharusnya diperhatikan karena kita hidup berdampingan ucapnya dengan tegas.
Namun, di tengah tekanan masyarakat lingkar perusahaan untuk mendapatkan kompensasi, muncul dugaan bahwa PT. BTIIG belum sepenuhnya memahami atau melaksanakan kewajiban sesuai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Bahkan, ada indikasi perusahaan belum menyusun atau memiliki dokumen AMDAL yang menjadi dasar operasional perusahaan sesuai ketentuan hukum.
“Kalau PT. IHIP punya AMDAL tentunya pihaknya memperhatikan persoalan ini. Jangan sampai hal itu menjadi alasan persoalan seperti ini tidak teratasi, jadi sangat penting untuk memperhatikan kelengkapan izin perusahaan agar tidak mengorbankan masyarakat serta lingkungan,” tutupnya.
Merujuk pada PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, AMDAL adalah dokumen wajib yang berfungsi sebagai acuan untuk mengelola dampak lingkungan yang dihasilkan perusahaan. Namun, dugaan bahwa PT. BTIIG belum memiliki AMDAL menunjukkan bahwa perusahaan mungkin tidak memahami atau mengabaikan kewajibannya untuk melindungi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Jika terbukti tidak memiliki AMDAL, PT. BTIIG telah melanggar ketentuan Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur bahwa izin lingkungan harus didasarkan pada AMDAL. Pelanggaran ini dapat berujung pada sanksi administratif, penghentian operasional sementara, atau bahkan pencabutan izin usaha
Dalam upaya mengonfirmasi hal ini, pihak media mencoba menghubungi Riki, salah satu perwakilan eksternal PT. BTIIG, melalui pesan WhatsApp terkait permasalahan ini. Namun, hingga berita ini ditulis, pesan yang dikirimkan hanya dibaca tanpa mendapatkan respons apa pun.
Namun, pernyataan tersebut belum sepenuhnya meredakan kemarahan warga. Beberapa kelompok masyarakat bahkan berencana menggelar aksi damai sebagai bentuk protes jika tuntutan mereka tidak segera dipenuhi.
Kasus ini kembali menjadi pengingat pentingnya kepatuhan perusahaan terhadap regulasi lingkungan, termasuk penentuan jarak aman dari pemukiman. Masyarakat berharap pemerintah setempat juga turun tangan untuk meninjau ulang izin operasional PT. BTIIG dan memastikan perlindungan bagi warga sekitar. (Wiwi)