Morowali, Sulawesi Tengah — Rumah sakit seharusnya menjadi tempat memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi masyarakat, dengan dukungan tenaga medis profesional, fasilitas memadai, serta sistem layanan yang aman dan cepat. Namun, kasus terbaru yang terjadi di RSUD Morowali kembali memunculkan sorotan tajam terhadap kualitas pelayanan kesehatan di fasilitas tersebut.
Selama kurang lebih lima hari menjalani perawatan di RSUD Morowali, seorang pasien rujukan dari Puskesmas Bahomotefe, Nur Azizah (Mama Ita), mengalami rangkaian pelayanan yang dinilai membingungkan, tidak konsisten, dan berpotensi menunjukkan adanya kelalaian serius.
Setibanya di ruang IGD RSUD Morowali, pasien menjalani observasi medis dan menurut dokter seharusnya segera ditempatkan di ruang ICU. Namun, keluarga mendapati pasien ditempatkan di ruang perawatan Lavender, dengan alasan ICU penuh.
“Menurut hasil observasi, pasien dinyatakan untuk dirawat di ICU. Tetapi kenyataannya pasien dititip di ruang Lavender karena ICU penuh,” ujar Masdam Latirima, Selasa (02/12/2025).
Dalam proses perawatan, tim medis menyatakan pasien membutuhkan tindakan operasi dan sempat disampaikan bahwa pasien akan dirujuk ke RS Kolonodale. Form persetujuan operasi pun telah ditandatangani pihak keluarga. Namun beberapa jam kemudian, rujukan dibatalkan dengan alasan dokter bedah tidak berada di tempat.
Keluarga kemudian diberi informasi bahwa dokter spesialis bedah RSUD Morowali akan tiba pada 30 November dan operasi akan dilakukan pada 1 Desember. Tetapi setelah dokter bedah berada di lokasi, keluarga justru menerima informasi berbeda: kondisi pasien disebut “tidak apa-apa”, bertolak belakang dengan tiga hasil rontgen serta penilaian medis sebelumnya yang menyatakan operasi mendesak diperlukan.
Sementara itu kondisi pasien terus memburuk akibat sumbatan cairan dalam sistem pernapasan meskipun telah diberikan oksigen.
Pada 1 Desember pagi, keluarga kembali mendapat informasi bahwa operasi akan segera dilakukan. Namun hingga pukul 17.00 WITA, dokter bedah justru meninggalkan ruang perawatan tanpa kejelasan. Kondisi pasien memburuk pada tengah malam dan sekitar pukul 05.00 WITA, pasien dinyatakan meninggal dunia.
Keluarga menyatakan keberatan dan menilai dokter spesialis bedah RSUD Morowali telah bersikap abai dan tidak menjalankan tugas dengan mengutamakan keselamatan pasien.
Tragedi ini kembali mempertanyakan kualitas layanan kesehatan di daerah kaya sumber daya seperti Morowali. Program layanan kesehatan daerah yang dibangun dengan slogan “Jemput Sakit, Pulang Sehat” justru dirasakan berbeda oleh keluarga korban, yang menyebut bahwa realitanya berubah menjadi “Pergi Sakit, Pulang Mati.”
Kasus ini memperkuat desakan publik agar pemerintah daerah segera:
1. Mencopot Direktur RSUD Morowali,
2. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayanan,
3. Menindak tegas tenaga medis yang diduga lalai,
4. Memperbaiki standar operasional penanganan pasien gawat darurat,
agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi.
(Sumarlin)















